A. SOFT SKILLS1
Soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi
bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills memuat komunikasi
efektif, berpikir kreatif dan kritis, membangun tim, serta kemampuan lainnya
yang terkait kapasitas kepribadian individu.
Tujuan dari pelatihan soft skills adalah memberikan
kesempatan kepada individu untuk untuk mempelajari perilaku baru dan
meningkatkan hubungan antar pribadi dengan orang lain.
Soft skills memiliki banyak manfaat, misalnya pengembangan
karir serta etika profesional. Dari sisi organisasional, soft skills memberikan
dampak terhadap kualitas manajemen secara total, efektivitas institusional dan
sinergi inovasi. Esensi soft skills adalah kesempatan.
Lulusan memerlukan soft skills untuk membuka dan
memanfaatkan kesempatan. Sukses di dalam sebuah pekerjaan tidak hanya
bergantung kepada rasio dan logika individu tetapi juga kapasitas
kemanusiannya. Kemampuan yang dimiliki manusia dapat diibaratkan sebagai Gunung
Es (Ice Berg). Yang nampak di luar permukaan air ialah kemampuan Hard Skill/
Technical Skill, sedangkan kemampuan yang berada di bawah permukaan air dan
memiliki porsi yang paling besar ialah kemampuan Soft Skill. Soft skill merupakan
kemampuan yang tidak tampak dan seringkali berhubungan dengan emosi manusia.
Ada sebuah peta atribut personal yang menggambarkan
atribut-atribut dari kompetensi hingga moral individu dalam sebuah kontinum.
Dilihat dari konstraknya, semakin bergerak ke kanan menunjukkan atribut
tersebut semakin empirik dan sebaliknya semakin bergerak ke kiri atribut
tersebut semakin abstrak. Dilihat dari proses peningkatannya, semakin ke kanan semakin
berorientasi pada kegiatan yang langsung dan semakin ke kiri semakin
berorientasi pada kegiatan yang tidak langsung. Misalnya hard skills yang
dapat ditingkatkan dengan studi mandiri dengan didukung oleh pelatihan yang
intensif. Untuk memahami konsep aritmetika misalnya, mahasiswa harus belajar
dengan mandiri yang didukung dengan fasilitasi dosen untuk Pada peta tersebut
terlihat bahwa soft skills terletak antara perilaku individu dan
keterampilan pengelolaan diri.
Intervensi yang dapat diberikan dalam meningkatkan soft
skills adalah dengan pelatihan atau dengan pembinaan yang intensif. Di sisi
lain nilai-nilai dan moral dapat ditingkatkan dengan kegiatan berfokus pada
peningkatan kesadaran diri. Lima faktor kepribadian tersebut merupakan gambaran
mengenai karakteristik khas individu yang unik dan relatif stabil. Lima faktor
tersebut antara lain :
1.
Ketahanan Pribadi (conscientiousness). Ketahanan pribadi ini ditunjukkan
dengan
karakter
gigih, sistematis, pantang menyerah, motivasi tinggi dan tahan terhadap beban
pekerjaan.
2.
Ekstraversi (extraversion). Tipe kepribadian ini ditandai dengan
keterampilan membina
hubungan
dan komunikasi yang efektif, pandai bergaul, bekerja sama, aktif,
mengutamakan
kerjasama, atraktif dan asertif (terbuka).
3.
Keramahan (agreableness). Tipe ini ditandai dengan sikap ramah, rendah
hati, tidak mau
menunjukkan
kelebihannya, mudah simpati, hangat, dapat dipercaya dan sopan.
4.
Emosi Stabil (emotion stability). Tipe ini ditandai dengan sikap yang
tenang, tidak mudah
cemas
dan tertekan, mudah menerima, tidak mudah marah dan percaya diri.
5.
Keterbukan terhadap pengalaman (openess). Individu dengan tipe ini
memiliki daya pikir yang imajinatif, menyukai tantangan, anti kemapanan,
kreatif, kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Kelima faktor kepribadian ini didapatkan dari penelitian
yang bertahun-tahun dilakukan dalam kajian psikologi yang merupakan intisari
dari karakteristik kepribadian manusia. Dari kelima faktor di atas, faktor
katahanan pribadi dan kestabilan emosi merupakan prediktor yang paling besar
terhadap kesuksesan dalam bekerja secara umum (Barrick dkk.,2001). Di sisi lain
ketiga faktor lainnya menjadi prediktor kesuksesan yang tidak langsung, tergantung
dari kriteria pekerjaan yang diemban. Misalnya ekstraversi lebih tepat untuk pekerjaan
yang membutuhkan hubungan interpersonal atau negosiasi, individu dengan tipe keramahan
lebih tepat pada pekerjaan yang membutuhkan sifat kooperatif, tipe keterbukaan terhadap
pengalaman lebih tepat pada posisi peneliti atau tim kreatif.
Hasil penelitian terbaru menemukan bahwa peranan tipe
kepribadian terhadap kesuksesan diperantarai oleh motivasi. Artinya jika tidak
didukung dengan motivasi yang kuat, efektivitas peranan tersebut menjadi berkurang.
B. ELEMEN SOFT SKILLS
Soft skills memiliki banyak variasi yang di dalamnya termuat
elemen-elemen. Berikut ini akan dijelaskan beberapa jenis soft skills yang
terkait dengan kesuksesan dalam dunia kerja berdasarkan dari hasil-hasil
penelitian.
1. Kecerdasan Emosi.
Melalui penelitian yang intensif
Goleman (1998) menemukan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya didukung oleh
seberapa smart seseorang dalam menerapkan pengetahuan dan
mendemonstrasikan keterampilannya, akan tetapi seberapa besar seseorang mampu
mengelola dirinya dan interaksi dengan orang lain. Keterampilan tersebut
dinamakan dengan kecerdasan emosi. Terminologi kecerdasan Emosi diperkenalkan
pertama kali oleh Salovey dan Mayer untuk menyatakan kualitas-kualitas seseorang,
seperti kemampuan memahami perasaan orang lain, empati, dan pengaturan emosi
untuk meningkatkan kualitas hidup (Gibbs, 1995). Kecerdasan emosi juga meliputi
sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang
emosi diri sendiri dan orang lain; dan kemampuan mengelola perasaan untuk
memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan hidup.
2. Gaya Hidup Sehat.
Marchand dkk (2005) menemukan bahwa uang jutaan dolar terbuang oleh institusi
dan masyarakat karena faktor minimnya produktivitas, pelayanan kesehatan, kecelakaan
kerja dan pegawai yang absen dalam bekerja. Pendukung utama dari sekian indikator
tersebut adalah gaya hidup individu yang tidak sehat. University of Central Florida
memasukkan tema gaya hidup sehat ini sebagai target pengembangan soft
skills bagi mahasiswa mereka. Topik yang diangkat dalam pengembangannya
memuat nutrisi, manajemen stres, pengelolaan waktu, cultural diversity,
dan penyalahgunaan obat terlarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya
hidup yang sehat mempengaruhi tingginya ketahanan, fleksibiltas dan konsep diri
yang sehat yang mempengaruhi tingginya partisipasi dalam komunitas.
3. Komunikasi Efektif.
Cangelosi dan Petersen (1998) menemukan bahwa banyak kegagalan siswa di
sekolah, masyarakat dan tempat kerja diakibatkan rendahnya keterampilan dalam berkomunikasi.
Selain keterampilan komunikasi berperan secara langsung, peranan tidak langsung
juga ditemukan. Secara tidak langsung keterampilan komunikasi mempengaruhi tingkat
kepercayaan diri dan dukungan sosial yang kemudian dilanjutkan pengaruhnya
kekesuksesan. Soft skills memuat banyak jenis dan variasi. Institusi perlu
menetapkan terlebih dahulu jenis soft skills yang dikembangkan.
Eksplorasi hasil penelitian dan masukan dari alumni atau pakar dapat dipakai
sebagai pertimbangan untuk memilih soft skills mana yang akan ditingkatkan.
C. PENGUKURAN SOFT
SKILLS
Soft skills lebih
didominasi oleh komponen kepribadian individu sehingga prosedur pengukurannya
sedikit berbeda dengan pengukuran komponen abilitas individu. Oleh karena itu
pengukuran soft skills akan mengarah pada karakteristik yang sifatnya internal
dan manifest pada diri individu seperti dimensi afektif, motivasi, interes,
atau sikap. Pengukuran kepribadian terbagi menjadi dua jenis yaitu pelaporan
diri (self-report) dan proyeksi (projective). Tulisan ini akan
mengeksplorasi pengukuran pada jenis self report.
1. Self Report
Sebagaimana
tes yang diartikan sebagai sekumpulan sampel respon yang menunjukkan atribut
ukur pada diri individu, pengukuran soft skills juga menghasilkan sejumlah
respon dari individu yang menunjukkan tingkat soft skills yang dimiliki. Self
report merupakan sekumpulan stimulus berupa pernyataan, pertanyaan atau daftar
deskripsi diri yang direspon oleh individu. Pernyataan merupakan turunan dari
domain ukur yang sifanya teoritik konseptual setelah melalui proses
operasionalisasi menjadi indikator-indikator. Setelah domain ukur dan indikator
telah ditetapkan, proses penyusunan instrumen pengukuran selanjutnya adalah
penulisan item (wording). Misalnya mengukur tingkat ekstraversi individu
diwujudkan melalui pernyataan “Saya senang bisa berinteraksi dengan banyak
orang” atau “Saya lebih suka bekerja sama dibanding dengan bekerja
sendirian”. Item ini kemudian direspon dengan kontinum dari sangat setuju
sampai sangat tidak setuju. Proses penulisan item ini merupakan seni tersendiri
yang membutuhkan kepekaan dalam membahasakan indikator empirik perilaku
individu. Berbagai desain instrumen pengukuran dapat diaplikasikan dalam
pengukuran soft skills, seperti model likert, guttman atau semantik diferensial
dengan beberapa modifikasi jenis respon maupun jumlah alternatif respon. Jenis
respon pada umumnya mengarah pada persetujuan (setuju-tidak setuju) subjek
terhadap pernyataan yang diberikan, namun bisa dimodifikasi menjadi evaluasi
(baik-buruk), potensi (kuat-lemah) atau frekuensi perilaku (sering-tidak
pernah). Jumlah respon biasanya bergerak pada skala lima pilihan dapat dimodifikasi
menjadi tiga atau empat pilihan.
2. Checklist
Checklist
adalah jenis alat ukur afektif atau
perilaku yang memuat sejumlah indikator, biasanya kata sifat atau perilaku yang
diisi oleh seorang penilai (rater). Checklist lebih banyak
dipakai untuk mengukur aspek psikologis yang tampak (overt), misalnya
perilaku. Sama seperti self report, penyusunan item-item pada checklist juga
diawali dari operasionalisasi aspek-aspek domain ukur yang sifatnya konseptual
menjadi seperangkat indikator yang sifatnya operasional. Pada pengukuran soft
skills, checklist lebih tepat dipakai untuk mengukur dimensi perilaku
mahasiswa misalnya cara mempresentasikan makalah, cara berinteraksi dengan
orang lain, atau strategi mengatasi masalah. Teknik peer evaluation antar
mahasiswa biasanya menggunakan checklist.
3. Pengukuran
Performansi
Beberapa
soft skills banyak yang terkait dengan abilitas relatif aktual seperti komunikasi
efektif, pemecahan masalah, berpikir kreatif atau berpikir kritis sehingga pengukuran
dengan menggunakan self report pada tataran tertentu kurang relevan.
Desain yang tepat untuk mengukur komponen ini adalah pengukuran performansi.
Pengukuran performansi merupakan pengukuran terhadap proses atau hasil kinerja
individu terhadap tugas yang diberikan. Penyekoran dilakukan dosen berdasarkan
rubrik yang telah dibuat sebelumnya. Rubrik merupakan panduan penyekoran yang
memuat kriteria performansi. Penyekoran dapat dilakukan ketika subjek sedang
bekerja atau hasil pekerjan yang diberikan. Sebelum diaplikasikan kepada subjek,
instrumen yang dibuat perlu dievaluasi kualitasnya yang ditunjukkan oleh
properti psikometris instrumen tersebut dari data uji coba instrumen soft
skills. Pengukuran soft skills terhadap mahasiswa perlu dikenakan pada
setiap kategori mahasiswa, dari mahasiswa baru, mahasiswa tingkat menengah dan
mahasiswa tingkat akhir.
REFERENSI
Barrick,
Murray R., and Michael K. Mount. “The Big Five Personality Dimensions and Job
Performance:
A Meta-Analysis.” Personnel Psychology, 44:1–26, 1991.
Cangelosi,
B. R., & Peterson, M. L. (1998). Peer teaching assertive communication
strategies
for
the workplace. (Clearinghouse No. CE078025) Montgomery, AL: Auburn
University
at Montgomery, School of Education. (ERIC Document Reproduction Service No.
ED427166).
Goleman,
D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam
Books
Goleman,
D. (1998). Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Jordan,
P. J., Ashkanasy, N. M., Hartel, Ch. E. J. & Hooper, G. S. (2002).
Workgroup
emotional
intelligence. Scale development and relationship to team process
effectiveness
and goal focus. Human Resource Management Review, 12, 195-214.
Marchand,
A., Demers, A. & Durand, P. (2005). Does work really cause distress? The
contribution
of occupational structure and work organization to the experience of
psychological distress. Social Science &
Medicine, in press,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar